Detikjam.com - Ketika film horor tak hanya menyuguhkan ketegangan, tapi juga memperkaya jiwa dengan nilai budaya lokal, itulah saatnya kita bicara tentang Film Jalan Pulang.
Tayang perdana pada 19 Juni, film ini menjanjikan pengalaman sinematik yang tidak hanya menyeramkan, tetapi juga menyentuh akar tradisi Jawa.
Dalam perpaduan antara mitos dan misteri, film ini hadir sebagai simbol bahwa pulang bukan hanya tentang arah, tapi juga soal identitas dan sejarah yang membentuk kita.
Di balik judulnya yang sederhana, Jalan Pulang menyimpan kisah yang kompleks. Ceritanya mengikuti seorang pemuda bernama Arya yang kembali ke kampung halamannya di lereng gunung setelah bertahun-tahun merantau. Namun, kepulangan ini bukan sekadar reuni keluarga.
Di balik senyum warga desa yang menyambut, ada aroma mistis yang menyelimuti.
Desa itu menyimpan rahasia kelam, dan Arya tanpa sadar menjadi kunci yang membuka pintu antara dunia nyata dan gaib.
Kisah ini memadukan unsur thriller psikologis dengan horor tradisional, menampilkan perjalanan batin sang tokoh utama yang dipaksa menghadapi trauma masa lalu serta menguak tabu yang selama ini dikubur dalam-dalam oleh masyarakat desa.
Film Jalan Pulang dijadwalkan tayang secara nasional pada 19 Juni 2025 di berbagai bioskop besar di Indonesia seperti XXI, CGV, dan Cinepolis.
Beberapa kabar menyebutkan bahwa film ini juga akan hadir di festival film regional dan internasional dalam program film budaya.
Salah satu kekuatan utama film ini terletak pada para pemerannya. Aktor muda Iqbaal Ramadhan memerankan Arya dengan performa yang penuh nuansa emosional.
Di sisi lain, Happy Salma, yang dikenal memiliki latar belakang teater, hadir sebagai tokoh ibu desa yang menyimpan rahasia masa lalu. Chemistry antarpemain terasa kuat dan natural, menggambarkan hubungan sosial khas masyarakat pedesaan Jawa yang kental dengan simbol dan rasa.
Film ini disutradarai oleh Hanung Bramantyo, yang sebelumnya dikenal lewat film sejarah dan budaya. Dengan tangan dinginnya,
Syuting dilakukan di sebuah desa di kaki Gunung Merapi, Yogyakarta. Pemandangan kabut pagi, suara gamelan yang samar, dan pepohonan tua menciptakan latar yang sangat mendukung nuansa mistik.
Tak bisa disangkal, budaya Jawa adalah napas dari film ini. Ritual sedekah bumi, tembang macapat, hingga kepercayaan tentang makhluk penunggu menjadi bagian tak terpisahkan dari alur cerita. Dialog-dialog dalam bahasa Jawa yang disisipkan secara elegan menambah keaslian narasi.
Konsep 'pulang' dalam film ini bukan sekadar pulang ke rumah, tetapi juga pulang ke asal-muasal, ke nilai-nilai yang pernah kita tinggalkan.
Film ini mengajak kita merenung: apakah kita benar-benar tahu ke mana arah kita pulang? Atau justru selama ini kita tersesat dalam pencarian identitas?